Eksistensi Religiusme Terhadap Modernitas Karya Aminuddin Mahasiswa Universitas Islam Madura

Eksistensi Religiusme Terhadap Modernitas
Gambar oleh Rizal Deathrasher dari Pixabay 


Modernisasi dalam segala aspek sudah menjadi suatu hal yang bersifat urgen baik aspek sosial, budaya, ekonomi, dan aspek lainnya, contohnya dalam aspek budaya modernisasi seakan menjadi variable dalam perkembangan dan pola pikir kontemporer serta asimilasi budaya barat yang menghegemoni budaya timur sehingga konsekuensi yang terjadi budaya timur seakan melebur dan terkikis oleh budaya-budaya kapitalis.

Adanya sikap yang terbuka (toleran) terhadap perkembangan zaman adalah suatu indikator penyebab modernisasi, bahkan dalam perkembangannya pada sisi yang sama timbulnya pemikiran modern pada negara-negara timur tengah yang notabeni mayoritas islam dengan pandangan kolotyang disematkan oleh dunia barat  sekarang seakan berlomba untuk meningkatkan taraf hidup menjadi lebih modern ini juga menjadi validitas terhadap modernisasi.
Dalam konteks modernisasi ekonomi, industrilisasi ekonomi bermadzhab kapitalistik sudah memonopoli pola konseptual berfikir ala islamisme yang orientasinya bukan hanya koneksi horizontal tetapi juga sisi vertikal sudah melebur dengan pola fikir kapitalisme. Sedangkan kita tahu dalam prosesnya kapitalisme terlahir dari pemikir-pemikir liberalis, yang mana proses inkubasi dan pemupukan menjadi sebuah misioner untuk penyebaran infeksi terhadap gaya hidup yang pragmatis.

Masa kontemporer juga merupakan masa asimilasi dan globalisasi budaya dimana semua dapat terakomodir dalam satu frame tanpa melihat batasan wilayah demografis dan geografis, semua dapat dengan mudah diakses dan didukung dengan media yang berfariatif unuk memudahkan informasi, nah disinilah celah yang dapat terinfeksi tanpa imunitas yang kuat dalam suatu negara, karena sifat rasionalitas yang tumbuh dalam masyarakat memudahkan terhadap penyebaran ataupun eksistensi suatu budaya.

Perlu adanya penyuluhan dan filterisasi terhadap individu terutama dalam menangkal radikalisasi budaya yang dapat mengikis budaya tertentu dan rekonstruksi pola kultural yang kurang baik terhadap kulturisasi budaya yang baik terutama jika memang dirasa lebih menimbulkan dampak yang negatif.

Eksistensi suatu budaya yang dapat  menyebabkan akulturasi terhadap budaya yang lain tidak melulu negatif yang bisa melahirkan stigma, justru paradigma yang harus menjadi landasasan adalah manfaat atau nilai positifisme yang dapat dihasilkan dari akulturasi budaya tersebut. 

Namun permasalahannya terutama masa modernisasi adalah budaya dan pola pikir modernis yang crash dengan koridor-koridor dan dogma agama yang terpasak dalam nilai-nilai moral dan etika (etitude) yang mengikat terhadap para pengikut menjadi sebuah dialektika yang mendalam.

Adanya distorsi dalam literasi ensiklopedia yang bersifat manipulatif dengan menggiring wacana yang ekstrimis atau marginalisasi suatu paham sehingga asumsi publik yang tidak bersahabat dengan nilai-nilai agama serta kurangnya peran protagonis nilai agama yang tidak tertanam dengan baik, refrensi keagamaan sangat diperlukan untuk dapat menangkal radikalisasi budaya yang menghegemoni. 

Seperti paragraf pertama modernisasi bukan suatu hal yang harus dihindari atau menjadi momok terhadap peradaban suatu negara utamanaya, modernisasi juga mempunyai aspek yang yang positif dalam penerapan dan perkembangannya, tetapi arus modernisasi juga membawa aspek-aspek yang bisa mengikis dan mendenyar nilai-nilai suatu kelompok atau negara dengan penetrasi modernisasi yang kuat juga bisa mengikis rasa dan ciri kearifan lokal dalam suatu kelompok atau negara.
Demokratisasi dalam suatu negara juga menjadi pemupuk modernisasi yang terjadi dengan paham-paham liberalisasi yang tertanam, sehingga paradigma yang berkembang lepas dari koridor dan nilai keagamaan serta pola berfikir yang modernis ala budaya barat dan kapitalistik yang serba pragmatis.

melihat dari pola perilaku dan pola pikir masyarakat kontemporer sudah menjadi hal lumrah dengan gaya hidup yang demokratis yang menjunjung Hak-hak birokrasi yang melekat dalam demoktisasi. 

Agama menaggapi demokratisasi sebagai suatu hal yang wajar dalam bernegara, tetapi ada koridor yang harus ditaati sebagai orientasi hidup, maka seharusnya demokratisasi dapat diterapkan tetapi juga harus sejalan dengan koridor agama, dalam sebuah pribahasa mengatakan mentradisikan agama itu baik tetapi mengagamakan tradisi itu yang tidak baikfilosofi dari pribahasa tersebut menunjukkan eksistensi agama itu harus dan perlu tertaman dalam setiap individu atau kelompok, karena agama menuntun para pemeluknya untuk selalu menanamkan nilai-nilai agama tertanam dalam setiap pribadi entah itu agama apapun yang pada dasarnya sama untuk menghendle setiap pola kehidupan masyarakat tanpa mendiskreditkan terhadap kredibilitas seseorang atau kelompok tertentu.
Penulis : Aminuddin

Tinggalkan komentar